[Tulisan panjaaaaang dari Ustadz Dwi Condro Triyono, Ph.D ini nambah
ilmu banget, baca pelan-pelan dan pahami yak, sayang kalo kelewatan]
Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi
hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi
kapital (modal).
Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot
uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa
uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan
“disedot”.
Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank
tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit)
dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha
besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini.
Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang
sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.
Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum
kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar.
Dengan cara apa?
Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para
pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada
masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.
Siapakah yang
memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk
menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya
perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di
pasar modal ini.
Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang
sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya
tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu
tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa
lagi?
Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”.
Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan
bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations),
yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika
di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup
dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup
dengan sendirinya.
Dengan apa perusahaan besar melakukan
ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu
perbankan dan pasar modal.
Agar perusahaan kapitalis dapat lebih
besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan
pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual
produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti:
pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air,
dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan
baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua
lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika perusahaan
kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan
“mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).
Kita sudah memahami
bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang
sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi,
pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan,
energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang
sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana
caranya?
Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang
Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan
kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut.
Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu
perbankan dan pasar modal.
Jika dengan cara ini kaum kapitalis
sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan
mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya?
Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan
itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap
sebagai pengusaha.
Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal
yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis
hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan
didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni
(pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud.
Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan
hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai
sampai di sini?
Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di
tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi
problem baru. Apa problemnya?
Problemnya adalah terjadinya ekses
produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika
produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan
semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan
kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya,
yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia.
Caranya adalah
dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat
penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan
dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas
dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka
pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya
(bebas proteksi).
Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum
kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya
di negara-negara “jajahan”-nya.
Untuk mewujudkan ekspansinya
ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan
permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya
cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka
perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu
dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas
negara, di negara-negara sasarannya.
Dengan membuka langsung
perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual
produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga
sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal
yang berpotensi menjadi pesaingnya.
Untuk mewujudkan ekspansinya
ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan
permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih
ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan
menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.
Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte
lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat
menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.
Contoh yang
terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA),
yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di
Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang
lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan
asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU
Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.
Menguasai SDA saja tentu belum
cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara
apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin
murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang
lokalnya.
Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang
dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata
uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh
ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam
penentuan nilai kurs tersebut?
Jawabannya adalah dengan Pasar
Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya,
maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai
kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata
uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan
menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.
Jika ingin
lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya
adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin
murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi
pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan
intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.
Jika
penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah
sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi
pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan
semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi.
Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di
perguruan tinggi.
Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong
dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan
sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang
sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu
lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana.
Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji
tinggi.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni
kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU.
Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan
cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses
intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang
terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap
keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?
Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang
mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye,
publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem
perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.
Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?
Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah
sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya
negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses
dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan
melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu
sendiri. Mengapa?
Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin,
maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka.
Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di
sinilah diperlukan cara berikutnya.
Agar rakyat negara miskin
tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan
Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini
adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development),
yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan
industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan
tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap
berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.
Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan
dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa
men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan
masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga
keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli,
akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara
jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.
Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat
kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak
memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman
krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi
kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya
krisis ini.
Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki
solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa
itu?
Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa”
pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi.
Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Sebagaimana kita pahami bahwa sumber
pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian,
jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya.
Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus
dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.
Bagaimana hasil
akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat
selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan
tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia